Kerajaan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaan pada masa Sultan Iskandar Muda yang memerintah pada tahun 1607 sampai 1636. Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan Makota Alam dahulunya merupakan dua tempat pemukiman bertetangga.
Pada masa kekuasaannya, Kerajaan Aceh termasuk dalam Lima Kerajaan Terbesar di Dunia. Langkah utama yang ditempuh Sultan Iskandar Muda untuk memperkuat kerajaan adalah dengan membangun angkatan perang yang umumnya diisi dengan tentara-tentara muda. Salah satu yang dikenal adalah pasukan seribu gajah (akan dijelaskan lebih rinci di bagian bawah). Sultan Iskandar Muda pernah menaklukan Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah, dan Nias.
Sultan Iskandar Muda dikenal memiliki hubungan yang sangat baik dengan Eropa. Dia dikabarkan menjalin komunikasi yang baik dengan Inggris, Belanda, Perancis, dan Ustmaniyah Turki. Sebagai contoh, pada abad ke-16 Sultan Iskandar Muda pernah menjalin komunikasi yang harmonis dengan Kerajaan Inggris yang pada saat itu dipegang oleh Ratu Elizabeth I.
Melalui utusannya, Sir James Lancester, Ratu Elizabeth I memulai isi surat yang disampaikan kepada Sultan Iskandar Muda. Berikut cuplikan isi surat Sultan Iskandar Muda, yang masih disimpan oleh pemerintah sampai saat ini, tertanggal tahun 1585 :
�I am the mighty ruler of the Regions below the wind, Who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.�
(Hambalah sang Penguasa Perkasa Negeri-Negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas Tanah Aceh dan atas Tanah Sumatera dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam�)
Pada masa pemerintahannya, terdapat sejumlah Ulama besar. Di antaranya adalah Syiah Kuala sebagai mufti besar di Kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Hubungan keduanya adalah sebagai penguasa dan ulama yang saling mengisi proses perjalanan roda pemerintahan.
Sultan Iskandar Muda juga sangat mempercayai ulama lain yang sangat terkenal pada saat itu, yaitu Syeikh Hamzah Fanshuri dan Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani. Kedua ulama ini juga banyak mempengaruhi kebijakan Sultan. Kedua merupakan sastrawan terbesar dalam sejarah nusantara.
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits � pendiri Dinasti Kerajaan Belanda juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar � pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Ratu Beatrix.
Sultan Iskandar Muda juga mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang sakit maka utusan Kerajaan Aceh terkatung-katung lama sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung.
Namun Sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu Kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Iskandar Muda.
Saat itu Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis yang semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Iskandar Muda. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi Sang Sultan.
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya Kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari Dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Daruddunya (Kini Meuligo Aceh, Kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah.
Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (Sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah Sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Ibu Sultan Iskandar Muda adalah Putri Raja Indra Bangsa, yang merupakan anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10. Ketika masih berumur empat tahun, Iskandar Muda diberi gajah mas dan kuda mas oleh kakeknya untuk permainan, dua biri-biri yang dapat bertarung, lalu gasing dan panta (gatok) dari emas atau dari suasa.
Ketika berumur lima tahun, kakeknya memberinya anak gajah bernama Indra Jaya sebagai teman bermain. Umur tujuh tahun, dia sudah berburu gajah liar.
Saat itu, gajah liar diburu bukan untuk dibunuh kemudian diambil gadingnya, tetapi untuk dijinakkan. Setelah jinak, gajah terbaik dan terbesar dijadikan gajah sultan, sedangkan sisanya untuk armada perang.
Dan ketika Iskandar Muda sudah menjadi raja, dia memiliki kemampuan terbaik dalam menjinakkan dan memperlakukan gajah. Gajah pun menjadi tunggangan kebanggaan Sang Sultan. Jika sultan mengendarai gajah, bawahannya harus mengendarai kuda, begitu sebaliknya.
Sejak kecil Iskandar Muda juga sudah diperdengarkan kegemilangan kisah hidup Iskandar Zulkarnain yang juga memiliki tentara bergajah oleh Laksamana Keumala Hayati panglima pasukan inong balee.
Tak heran di kemudian hari Raja Iskandar Muda mempunyai prajurit kavaleri bergajah yang jumlahnya mencapai 1.000 pasukan. Pasukan gajah ini digunakan untuk melengkapi infanteri, pasukan berkuda dan persenjataan artileri meriam yang dimiliki Sultan Iskandar Muda.
Aceh Darussalam pada waktu itu merupakan satu-satunya kerajaan di Nusantara yang memiliki pasukan 1.000 gajah. Gajah-gajah tersebut selain digunakan untuk armada perang juga untuk penyambutan tamu.
Gajah-gajah tersebut juga digunakan Sultan Iskandar Muda untuk membentengi istananya. Ratusan gajah-gajah tersebut dilatih untuk menghancurkan dan berperang sehingga tak takut suara senapan.
Iskandar Muda yang sangat menyayangi binatang ini memberikan nama kepada masing-masing gajah. Dia juga sangat menghormati gajah yang menurutnya paling berani dan paling terlatih.
Bahkan saking sayangnya dia dengan gajah, diceritakan pula ketika gajah-gajah itu berjalan-jalan di luar, dia akan memerintahkan anak buahnya untuk membawakan payung bagi mereka.
Gajah perang biasanya ditempatkan di tengah barisan, tempat mereka dimanfaatkan untuk menahan serangan musuh atau untuk melakukan serangan terhadap pasukan lawan.
Ukurannya yang besar dan penampilannya yang menakutkan menjadikan gajah sebagai kavaleri berat yang cukup berguna. Di luar medan tempur, gajah berguna untuk membawa perlengkapan perang yang berat.
Serangan gajah bisa mencapai kecepatan sekitar 30 km/jam (20 mil/jam). Tidak seperti kavaleri kuda, gajah tidak dapat dihentikan dengan mudah oleh infantri.
Serangan gajah dilakukan murni dengan kekuatan. Gajah menyerang barisan depan musuh dan menginjak-injak prajurit musuh sambil mengayun-ayunkan belalainya. Prajurit yang tak terinjak biasanya akan terlempar. Selain itu, gajah bisa memicu ketakutan pada pasukan yang tidak terbiasa bertempur melawan gajah.
Teror yang disebabkan oleh gajah akan membuat barisan pertahanan musuh menjadi pecah dan buyar. Kuda yang tidak terbiasa dengan bau gajah juga bisa langsung panik jika berhadapan dengan pasukan gajah.
Selain untuk penyerangan, gajah juga menyediakan tempat yang aman dan stabil bagi pemanah untuk menembakkan panahnya di medan pertempuran.
Gajah-gajah tersebut juga digunakan Sultan Iskandar Muda untuk menaklukan beberapa wilayah di Sumatera dan semenanjung Malaya. Bahkan juga pernah digunakan untuk menggempur Portugis di Malaka.
Hingga perang kemerdekaan pasukan bergajah di Aceh masih digunakan oleh pasukan KNIL. Sekarang gambar gajah putih (Gajah Puteh) dijadikan simbol Kodam Iskandar Muda.
Pada masa kekuasaannya, Kerajaan Aceh termasuk dalam Lima Kerajaan Terbesar di Dunia. Langkah utama yang ditempuh Sultan Iskandar Muda untuk memperkuat kerajaan adalah dengan membangun angkatan perang yang umumnya diisi dengan tentara-tentara muda. Salah satu yang dikenal adalah pasukan seribu gajah (akan dijelaskan lebih rinci di bagian bawah). Sultan Iskandar Muda pernah menaklukan Deli, Johor, Bintan, Pahang, Kedah, dan Nias.
Sultan Iskandar Muda dikenal memiliki hubungan yang sangat baik dengan Eropa. Dia dikabarkan menjalin komunikasi yang baik dengan Inggris, Belanda, Perancis, dan Ustmaniyah Turki. Sebagai contoh, pada abad ke-16 Sultan Iskandar Muda pernah menjalin komunikasi yang harmonis dengan Kerajaan Inggris yang pada saat itu dipegang oleh Ratu Elizabeth I.
Melalui utusannya, Sir James Lancester, Ratu Elizabeth I memulai isi surat yang disampaikan kepada Sultan Iskandar Muda. Berikut cuplikan isi surat Sultan Iskandar Muda, yang masih disimpan oleh pemerintah sampai saat ini, tertanggal tahun 1585 :
�I am the mighty ruler of the Regions below the wind, Who holds sway over the land of Aceh and over the land of Sumatra and over all the lands tributary to Aceh, which stretch from the sunrise to the sunset.�
(Hambalah sang Penguasa Perkasa Negeri-Negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas Tanah Aceh dan atas Tanah Sumatera dan atas seluruh wilayah-wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam�)
Pada masa pemerintahannya, terdapat sejumlah Ulama besar. Di antaranya adalah Syiah Kuala sebagai mufti besar di Kerajaan Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda. Hubungan keduanya adalah sebagai penguasa dan ulama yang saling mengisi proses perjalanan roda pemerintahan.
Sultan Iskandar Muda juga sangat mempercayai ulama lain yang sangat terkenal pada saat itu, yaitu Syeikh Hamzah Fanshuri dan Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani. Kedua ulama ini juga banyak mempengaruhi kebijakan Sultan. Kedua merupakan sastrawan terbesar dalam sejarah nusantara.
Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits � pendiri Dinasti Kerajaan Belanda juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid.
Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar � pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayahanda Ratu Beatrix.
Sultan Iskandar Muda juga mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Konstantinopel. Karena saat itu Sultan Utsmaniyah sedang sakit maka utusan Kerajaan Aceh terkatung-katung lama sehingga mereka harus menjual sedikit demi sedikit hadiah persembahan untuk kelangsungan hidup mereka. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung.
Namun Sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu Kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Ottoman mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Iskandar Muda.
Saat itu Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis yang semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Iskandar Muda. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi Sang Sultan.
Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya Kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari Dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Daruddunya (Kini Meuligo Aceh, Kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah.
Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (Sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah Sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.
Ibu Sultan Iskandar Muda adalah Putri Raja Indra Bangsa, yang merupakan anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10. Ketika masih berumur empat tahun, Iskandar Muda diberi gajah mas dan kuda mas oleh kakeknya untuk permainan, dua biri-biri yang dapat bertarung, lalu gasing dan panta (gatok) dari emas atau dari suasa.
Ketika berumur lima tahun, kakeknya memberinya anak gajah bernama Indra Jaya sebagai teman bermain. Umur tujuh tahun, dia sudah berburu gajah liar.
Saat itu, gajah liar diburu bukan untuk dibunuh kemudian diambil gadingnya, tetapi untuk dijinakkan. Setelah jinak, gajah terbaik dan terbesar dijadikan gajah sultan, sedangkan sisanya untuk armada perang.
Dan ketika Iskandar Muda sudah menjadi raja, dia memiliki kemampuan terbaik dalam menjinakkan dan memperlakukan gajah. Gajah pun menjadi tunggangan kebanggaan Sang Sultan. Jika sultan mengendarai gajah, bawahannya harus mengendarai kuda, begitu sebaliknya.
Sejak kecil Iskandar Muda juga sudah diperdengarkan kegemilangan kisah hidup Iskandar Zulkarnain yang juga memiliki tentara bergajah oleh Laksamana Keumala Hayati panglima pasukan inong balee.
Tak heran di kemudian hari Raja Iskandar Muda mempunyai prajurit kavaleri bergajah yang jumlahnya mencapai 1.000 pasukan. Pasukan gajah ini digunakan untuk melengkapi infanteri, pasukan berkuda dan persenjataan artileri meriam yang dimiliki Sultan Iskandar Muda.
Aceh Darussalam pada waktu itu merupakan satu-satunya kerajaan di Nusantara yang memiliki pasukan 1.000 gajah. Gajah-gajah tersebut selain digunakan untuk armada perang juga untuk penyambutan tamu.
Gajah-gajah tersebut juga digunakan Sultan Iskandar Muda untuk membentengi istananya. Ratusan gajah-gajah tersebut dilatih untuk menghancurkan dan berperang sehingga tak takut suara senapan.
Iskandar Muda yang sangat menyayangi binatang ini memberikan nama kepada masing-masing gajah. Dia juga sangat menghormati gajah yang menurutnya paling berani dan paling terlatih.
Bahkan saking sayangnya dia dengan gajah, diceritakan pula ketika gajah-gajah itu berjalan-jalan di luar, dia akan memerintahkan anak buahnya untuk membawakan payung bagi mereka.
Gajah perang biasanya ditempatkan di tengah barisan, tempat mereka dimanfaatkan untuk menahan serangan musuh atau untuk melakukan serangan terhadap pasukan lawan.
Ukurannya yang besar dan penampilannya yang menakutkan menjadikan gajah sebagai kavaleri berat yang cukup berguna. Di luar medan tempur, gajah berguna untuk membawa perlengkapan perang yang berat.
Serangan gajah bisa mencapai kecepatan sekitar 30 km/jam (20 mil/jam). Tidak seperti kavaleri kuda, gajah tidak dapat dihentikan dengan mudah oleh infantri.
Serangan gajah dilakukan murni dengan kekuatan. Gajah menyerang barisan depan musuh dan menginjak-injak prajurit musuh sambil mengayun-ayunkan belalainya. Prajurit yang tak terinjak biasanya akan terlempar. Selain itu, gajah bisa memicu ketakutan pada pasukan yang tidak terbiasa bertempur melawan gajah.
Teror yang disebabkan oleh gajah akan membuat barisan pertahanan musuh menjadi pecah dan buyar. Kuda yang tidak terbiasa dengan bau gajah juga bisa langsung panik jika berhadapan dengan pasukan gajah.
Selain untuk penyerangan, gajah juga menyediakan tempat yang aman dan stabil bagi pemanah untuk menembakkan panahnya di medan pertempuran.
Gajah-gajah tersebut juga digunakan Sultan Iskandar Muda untuk menaklukan beberapa wilayah di Sumatera dan semenanjung Malaya. Bahkan juga pernah digunakan untuk menggempur Portugis di Malaka.
Hingga perang kemerdekaan pasukan bergajah di Aceh masih digunakan oleh pasukan KNIL. Sekarang gambar gajah putih (Gajah Puteh) dijadikan simbol Kodam Iskandar Muda.
Demikian artikel tentang Sultan Iskandar Muda, Disegani Dunia, Pemilik Pasukan 1.000 Gajah ini dapat kami sampaikan, semoga artikel atau info tentang Sultan Iskandar Muda, Disegani Dunia, Pemilik Pasukan 1.000 Gajah ini, dapat bermanfaat. Jangan lupa dibagikan juga ya! Terima kasih banyak atas kunjungan nya.